Fikih Transaksi Ijarah (Sewa Menyewa) (Bag. 7)
Masih pada pembahasan sewa menyewa jasa secara khusus, yakni sewa menyewa yang mana jasanya hanya diberikan untuk pribadi atau individu saja, bukan untuk publik.
Pada pembahasan sebelumnya, telah disebutkan dua jenis sewa menyewa yang bersifat khusus,
Pertama, khusus untuk bekerja selama masa kontrak
Kedua, khusus untuk menyelesaikan pekerjaan yang disepakati
Dan terkait dengan keduanya telah disebutkan ketentuan-ketentuannya.
Terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di antara para ulama terkait dengan penggabungan kedua akad di atas. Yakni, menggabungkan antara waktu dan pekerjaan. Yang lebih tepat adalah menggabungkan antara keduanya diperbolehkan.
Dengan syarat, masa kerja atau kontraknya harus masuk akal. Jika rumah yang harus dibangun satu tahun kemudian diminta untuk menyelesaikan dalam waktu tiga bulan, maka ini tidak masuk akal dan tidak diperbolehkan.[1]
Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan,
والصواب أنه يجوز الجمع بين مدة العمل والعمل؛ لأن فيه مصلحة.
“Yang benar adalah bolehnya menggabungkan antara (kedua akad) waktu atau masa kontrak dan ketentuan pekerjaannya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat.”[2]
Di antara contohnya adalah:
A ingin membangun rumah dengan menggunakan jasa B. Maka, A dan B bersepakat untuk membangun rumah dengan waktu satu tahun. Dengan spesifikasi ketentuan pekerjaan seperti ini dan itu.
Jika B bisa menyelesaikannya tidak sampai satu tahun dengan pekerjaan yang sesuai dengan spesifikasi, maka B tidak harus untuk melanjutkan pekerjaannya pada waktu yang tersisa. Karena pekerjaannya telah selesai sebelum waktunya. Hal ini seperti membayar utang sebelum waktunya.
Namun, jika B belum menyelesaikan pekerjaannya, sedangkan masa kontrak sudah habis, maka boleh bagi A membatalkan akadnya. Karena B tidak profesional dalam menunaikan akad kesepakatan di awal. Yaitu, menyelesaikan pekerjaan pada waktu yang tepat.
Poin-poin penting terkait sewa menyewa jasa secara khusus
Pertama, penyedia jasa atau pekerja sifatnya adalah amin (orang yang dipercaya).[3]
Amin adalah istilah yang sangat sering digunakan dalam bab Fikih Mu’amalah, yakni adalah orang yang dipercaya dalam sebuah akad untuk menangani sesuatu, baik berupa menjaga harta atau barang tertentu.
Pada hal ini, ia dianggap tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan baik dari harta atau pekerjaannya, kecuali jika terbukti adanya ta’addi (kesengajaan) atau taqshir (kelalaian). Ia pun tetap mendapatkan hak upahnya secara utuh.
Gambaran sederhananya:
A menyewa jasa B untuk memperbaiki listrik, maka B adalah seorang yang amin (dipercaya). Ketika B sedang memperbaiki listrik di rumah A, masuklah seseorang ke rumah A tanpa sepengetahuan B. Sehingga hilanglah beberapa harta A disebabkan rumahnya kemalingan. Pada keadaan ini, B tidak wajib bertanggung jawab atas kehilangan tersebut. Karena tidak ada kesengajaan dan kelalaian dari B.
Beda halnya jika B mengetahui adanya orang yang masuk dan hanya didiamkan saja dan tidak menghalaunya, kemudian terjadi kehilangan. Jika demikian, maka inilah yang dinamakan dengan kelalaian dan B harus bertanggung jawab.
Kedua, penyedia jasa atau pekerja tidak boleh bekerja untuk orang lain.[4]
Penyedia jasa yang bersifat khusus ini tidak boleh bekerja kepada selain penyewa atau pengguna jasanya saja. Mengingat jika ia bekerja pada orang lain, akan lalai, bahkan terluput darinya manfaat yang harus diperoleh dari pihak penyewa. Dalam hal ini terdapat kaidah,
المَشْغُوْلُ لَا يُشَغَّلُ
“Yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).”
Syekh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menekankan kaidah ini dalam Mandzumah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah
وَكُلُّ مَشْغُوْلٍ فَلَا يُشَغَّلُ مِثَالُهُ المَرْهُوْنُ وَالمُسَبَّلُ
“Setiap yang sedang sibuk (dengan sesuatu), tidak dapat disibukkan (dengan hal lain).
Seperti pada akad marhun (gadai) dan musabbal (wakaf).”[5]
Beliau rahimahullah menjelaskan bait syair di atas,
“Inilah makna dari perkataan para ulama Yang sedang sibuk (dengan sesuatu) tidak dapat disibukkan (dengan hal lain). Yakni, jika ada sesuatu yang sedang sibuk dengan yang lain, maka tidak boleh untuk disibukkan dengan yang lain sampai selesai dari kesibukannya. Contohnya seperti akad gadai, barang yang masih berstatus gadai tidak boleh diperjualbelikan, dihibahkan, digadaikan kembali, sampai status gadai itu selesai atau diizinkan oleh pemiliknya. Demikian juga halnya, barang yang diwakafkan………begitu juga, penyedia jasa yang bersifat khusus (pribadi), yakni mereka yang manfaatnya dapat diperoleh sesuai dengan waktu ia bekerja, baik per hari atau per jam. Maka, tidak boleh ia disibukkan dengan yang lain (bekerja di tempat lain) pada kurun waktu tersebut untuk selain penyewa jasanya. Karena waktu yang ia miliki pada saat itu hanya untuk penyewanya saja.”[6]
Bagaimana jika penyedia jasa atau pekerja tetap bekerja untuk orang lain?
Dilihat terlebih dahulu, jika penyedia jasa tersebut memudaratkan atau lalai dalam pekerjaannya untuk pihak penyewa disebabkan ia bekerja kepada orang lain, maka penyewa berhak untuk meminta ganti rugi atas kelalaian pihak penyedia jasa atau pekerja. [7]
Ketiga, seorang muslim boleh menyewa jasa kafir dzimmi atau sebaliknya.[8]
Kafir dzimmi[9] adalah orang kafir yang tinggal di bawah pemerintahan Islam dengan menyepakati perjanjian untuk hidup damai dengan kaum muslimin dan membayar jizyah (upeti).
Boleh hukumnya menyewa dan menggunakan jasa kafir dzimmi atau mempekerjakan kafir dzimmi. Dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama: Tidak boleh mengandung pekerjaan yang haram, harus pekerjaan yang halal.
Kedua: Jika kita dipekerjakan oleh kafir dzimmi dalam bentuk kontrak kerja, Mazhab Hanafi dan Hanbali mensyaratkan untuk pekerjaan yang tidak mengandung penghinaan diri kepada mereka.
Wallahu A’lam.
***
Depok, 10 Rajab 1446 H / 9 Januari 2024 M
Penulis: Zia Abdurrofi
Artikel asli: https://muslim.or.id/102760-fikih-transaksi-ijarah-sewa-menyewa-bag-7.html